KOTA LUMPUR (Pemenang Harapan 1 LMCR 2011)


MAHISA bangkit dari rebahnya. Mula-mula yang menyaput pengelihatannya hanya remang. Remang yang sangat kental dan lapang. Ia tak tahu, apa ia baru siuman dari pingsan, atau bangun dari tidur. Ia hanya merasa, bahwa tubuhnya sangat kotor dan lengket. Ia mencoba berdiri. Meregangkan otot yang terasa kaku, mematahkan leher dan menekukkan pinggang ke kiri dan ke kanan. Ia terbelalak dan hampir menjerit ketika menyadari sekujur tubuhnya telah dibaluri lumpur. Sial! Lumpur apa ini?
Mahisa menguncang-guncangkan badan. Lumpur di tubuhnya berhamburan ke mana-mana. Dari dulu Mahisa memang sangat membenci lumpur, segala sesuatu yang lembab, yang becek, yang kotor. Jadi tak mungkin ia sudi bergumul dengan lumpur. Tapi yang membaluri tubuhnya memang benar-benar lumpur. Ia kipat-kipatkan keduan tangannya. Kampret! Ini lumpur dari mana? Ia masih tercengang.
***
Kini, Mahisa mengedarkan pandangannya seperti orang bingung. Ia sadar tengah tersesat. Tersesat di tempat yang asing. Langit sangat gelap. Lebih gelap dari mendung. Awan-awan tampak seperti gumpalan lumpur yang menggantung di langit. Kakinya pun terasa becek. Ia menunduk. Genangan lumpur juga menenggelamkan mata kakinya. Sial! Mimpi buruk macam apa ini? Ia masih belum percaya.
            Sejauh paku pandang, yang ia tangkap hanya lumpur. Cairan pekat yang terus meleleh dan sesekali menggelembung. Rumah-rumah, jalan-jalan, gedung-gedung, pepohonan, semuanya sempurna terbalut lumpur. Ia menampar-nampar pipinya. Melebar-nanarkan kelopak matanya. Tapi yang ia lihat memang benar-benar lumpur. Ini tempat yang sangat aneh, bahkan untuk sebuah mimpi buruk, pikirnya. Ia memang suka traveling, berpetualang ke tempat-tempat yang jauh. Tapi ia tak pernah berharap terdampar di tempat seperti ini. Tempat yang sangat kotor dan becek. Sial! Lagi-lagi ia mengumpat.
            Mahisa menghela napas dan mulai mengayunkan kaki. Aku harus mencari seseorang yang bisa menjelaskan semua ini, gumamnya. Ahai, apa lagi ini. Lihatlah! Orang pertama yang ia temui sangat menyeramkan. Seluruh tubuhnya juga dibaluti lumpur, hanya tampak kerling matanya saja yang seperti tersembunyi di balik topeng. Mahisa ingin menyapa orang itu. Tapi orang itu terus melaju seperti batu berjalan. Ia tak diorangkannya. Mahisa kembali melangkah dengan tatapan yang masih cengang. Aku harus menemukan seseorang yang lain, gumamnya lagi.
***
Orang kedua yang ia temui adalah seorang perempuan. Tubuhnya juga terbalut lumpur, namun tidak separah orang pertama tadi. Perempuan itu mengendong seorang bayi yang sangat mulus dan bersih. Sangat kontras. Lumpur yang meleleh dari tubuh perempuan itu sama sekali tak bisa menyentuh kulit si bayi. Lumpur yang menetes ke tubuh bayi itu tampak seperti butiran air yang jatuh ke daun talas. Sama sekali tak berbekas. Ia kian terheran-heran. Pemandangan yang unik, pikirnya. Di sini memang banyak hal yang tidak lumrah, gerutunya dengan mulut menganga.
Mahisa mempercepat langkahnya, terlupa ingin menanyakan sesuatu. Aku harus mencari manusia yang benar-benar masih manusia, bukan lumpur berjalan, gerutunya lagi. Beberapa orang berikutnya, yang ia jumpai, semuanya berbaju lumpur. Hanya lumpur dan lumpur. Para manusia lumpur. Benaknya sudah bisa sedikit mencerna: barangkali aku memang tersesat, di kota lumpur.
***
Mahisa menghambur ke sebuah bangunan besar dengan kubah dan tiang-tiang yang menjulang serupa istana—yang secara tidak sengaja kau temukan di sudut jalan—hanya tempat itu yang lumpurnya tidak terlalu tebal. Ia mulai memasuki tempat itu, melewati sebuah pintu yang lebar dan tinggi. Matanya teredar ke penjuru tempat itu sampai sudut-sudutnya. Lumpur di tempat itu hampir mengering. Lumpurnya sudah mulai mengelupas. Di dalam tempat itu, dari balik sebuah mimbar, tiba-tiba seseorang berdiri. Seorang laki-laki dengan gamis putih yang hampir menutupi kaki. Wajah orang itu sangat bersih, jernih, tak setitik kotoran pun tampak di sana. Wajah itu bersinar. Apa ia malaikat?
“Salam...” Mahisa mengangkat suara. Sedikit lumpur menyembur dari mulutnya. “Permisi, salam…” Mahisa mengulang salamnya. Lelaki itu menoleh.
“Ya? Salam.” lelaki itu memicingkan matanya. “Siapa?”
Buru-buru Mahisa menyalami lelaki itu. Lelaki itu menyambut tangan Mahisa yang masih basah oleh lumpur. Buru-buru lelaki itu melepaskan jabatan tangannya.
“Aku baru melihatmu. Kau musafir di kota ini?” Tanya lelaki itu.
“Sepertinya saya tersesat, Tuan.” Jawab Mahisa gusar.
“Tersesat? Tersesat bagaimana? Semua orang di kota ini memang tersesat. Tersesat oleh lumpur. ”
“Tersesat oleh lumpur?”
Lelaki itu mengangguk, menyentuh pundak Mahisa dan mengajaknya duduk. Lelaki itu seperti menyelami kebingungannya.
“Pasti kau pikir, kota ini aneh. Sungguh masih banyak kota-kota aneh lainnya yang akan kau jumpai di luar sana. Kau ini seperti tak tahu usia zaman saja.”
Mahisa mengernyitkan alis. Mulutnya rapat.
“Ini kota lumpur. Sejak aku lahir, kota ini sudah begini. Hanya saja, sewaktu aku kecil, lumpurnya tidak separah ini.”
“Kota lumpur? Bagaimana…” Mahisa ling-lung oleh pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba berkecambah dalam kepalanya.
Cukup dalam lelaki itu menyelami kepanikan Mahisa. Maka sebelum Mahisa meminta penjelasan lebih. Lelaki itu sudah memulai ceritanya….
            Di kota ini, lumpur terus meleleh dan akan terus meleleh. Semua penduduk kota ini berpakaian lumpur. Pakaian apapun yang mereka kenakan, lambat laun akan tergenangi lumpur dan akhirnya menjadi lumpur. Menyatu dengan tubuh mereka. Menyatu dengan lumpur. Bukan hanya itu, seperti yang kau lihat sendiri…. rumah-rumah, gedung-gedung, pohon-pohon, tanah, bahkan langit, semua utuh berbalur lumpur. Gelap ini akan terus meleleh. Hanya bayi-bayi yang baru lahir saja yang mulus tak berbalur lumpur. Tentu kau tahu kenapa.
“Tapi kenapa…. Dari mana…” Mahisa menyela.
“Hush… tidak baik menyela orang bicara.” lelaki itu balas menyelanya, sebelum kemudian melanjutkan ceritanya…
Tak seorangpun tahu dari mana lumpur itu bermula. Tapi, kata orang-orang tua, nenek moyang kami, lumpur itu menyembur dan meleleh dari dosa. Setiap seseorang melakukan dosa dengan kadar tertentu, lumpur itu akan menyembur dan meleleh dengan kadar tertentu pula. Semakin besar dosa yang dilakukan, semakin besar pula semburan lumpur yang muncul. Lumpur itu bisa menyembul dari mana saja. Dari mulut, telinga, kelopak mata, dari lubang pusar, bahkan dari lubang kemaluan.
Lelaki itu terpekur.
“Apa ceritamu sudah selesai?” Mahisa memberanikan diri menyela.
“Hanya itu yang kutahu.”
Isi kepala Mahisa menderu, mencoba mencerna cerita itu.
            “Berarti penduduk kota ini, semuanya berdosa, dong!?” ungkapnya kemudian.
            “Cuma nabi dan bayi, manusia yang terjaga dari dosa.”
            “Tapi rumah-rumah, jalan-jalan, gedung-gedung, masjid, gereja, tempat ini… Bagaimana mereka melakukan dosa? Bagaimana mereka bisa berlumpur?”
            “Kau tak tahu, ya? Dosa itu memiliki lidah yang menjulur, dan bisa menjilati apa saja. Rumah-rumah, jalan-jalan, bahkan tempat ibadah. Pokoknya tempat-tempat di mana manusia melakukan dosa, di situ lumpur juga akan muncul.”
            “Tapi, mana ada orang berbuat dosa di tempat ibadah?”
            “Bukankah dosa adalah hal yang paling mudah dilakukan. Dosa bisa dilakukan di mana saja, kapan saja.”
            Mahisa mengangguk ragu, kemudian mematung.
            Lelaki di sampingnya tersenyum, seperti hendak mengisyaratkan sesuatu.
“Lumpur ini benar-benar menghalangi kenikmatan,” gumam Mahisa seperti melamun.
            “Begitulah lumpur.”
“Benar. Sangat menghalangi kenikmatan. Kita tak bisa bicara dengan jelas, setiap kali bicara lumpur dari mulut kita ikut menyembur.”
“Begitulah!”
“Kita juga tak bisa makan dan minum dengan nikmat, semuanya becek oleh lumpur.”
“Tapi warga di kota ini sudah terbiasa.”
“Terbiasa? Bagaimana mungkin mereka bisa tertidur pulas dengan tubuh becek dan kotor semacam itu.”
“Buktinya mereka bisa.”
“Aku jadi bertanya-tanya, apakah mereka juga bisa bercinta dengan nyaman.” Mahisa menghela napas.
“Ini sudah berlangsung lama.”
“Tidak adakah cara untuk menghentikannya?”
“Menghentikan apa?”
“Ya lumpur ini!”
            “Hahaha, kau seperti bertanya bagaimana menghentikan dosa. Kau jawab sendiri lah!”
            Mahisa membisu. Matanya kembali menyalak, memperhatikan ruangan tempatnya duduk. Ia juga melihat satu demi satu lumpur kering yang menempel di dinding dan lantai tempat itu mulai mengelupas.
            “Aku harus membersihkan lumpur di tempat ini. Ini rumah Tuhan.” Lelaki itu berdiri dan mengambil sapu yang tergeletak di sebelahnya.
            “Aku hanya tak habis pikir, bagaimana mungkin ada lumpur di rumah Tuhan.” Mahisa ikut berdiri.
            “Bukankah rumah Tuhan itu tempat umum. Siapa pun boleh masuk.” Lelaki itu berkata sambil terus mengayunkan sapunya.
            “Bahkan mereka yang sangat kotor dan berlumpur-lumpur?”
            “Ya. Bahkan mereka yang sangat kotor dan berlumpur-lumpur.”
Lelaki itu menghentikan gerakan sapunya dan kembali bercerita…
Tempat ini sebenarnya adalah tempat paling efektif untuk berbilas. Hanya saja jarang sekali orang yang mau datang ke tempat ini. Kata mereka tempat ini panas. Sebenarnya panas inilah yang bisa membuat lumpur di tubuh mereka mengering lalu mengelupas dan bersih. Pasti kau bertanya-tanya, mengapa mereka tidak membilas tubuh mereka dengan air saja. Tidak. Sesuatu yang basah takkan bersih oleh yang basah. Akan tetap basah. Untuk bersih mereka butuh menjadi kering. Dan untuk menjadi kering mereka membutuhkan pengering. Lagi pula, tak ada lagi air bersih di kota ini. Yang ada hanya air berlumpur. Semuanya sudah menyatu dengan lumpur. Di kota ini, semua sudah sempurna. Berlumpur. Dan tak ada yang bisa mengeringkan lumpur itu kecuali panas.
“Mmm, maaf menyela. Tapi bolehkan saya menanyakan sesuatu…”
 Lelaki itu tak menjawab. Tapi Mahisa tak peduli.
“Panas itu api, api itu neraka… bagaimana mungkin rumah Tuhan menjadi neraka?”
“Nyatanya, begitulah yang terjadi di kota ini. Mereka sudah terbiasa dengan lumpur. Bahkan mereka menikmatinya. Jika mereka mengeringkan lumpur di tubuh mereka. Mereka akan gelisah dan kesakitan. Seperti terbakar. Itulah yang terjadi.”
Mahisa manggut-manggut. Heran bercampur senang. Heran dengan penduduk kota yang lebih suka berkotor-kotor. Senang karena lumpur yang membaluri tubuhnya sudah mulai mengering. Padahal, baru beberapa saat yang lalu ia duduk di tempat itu. Mahisa menekur dan menggumam dalam hati: sekarang aku tahu bagaimana cara mengeringkan lumpur ini.
***
Tiba-tiba pikiran Mahisa berkelana pada lelaki itu. Lelaki di hadapannya yang wajahnya sangat bersih bersinar. Tak setitik noda pun melekat di sana. Bukankah lelaki itu tadi bilang, cuma bayi dan nabi manusia yang tubuhnya tidak dibaluri lumpur. Lelaki itu jelas bukan bayi. Serta merta Mahisa menegakkan kepalanya, ia melonjak seperti baru menyadari sesuatu. Tapi lelaki yang bercerita panjang lebar di depannya barusan sudah raib, entah kemana. Seperti menghilang begitu saja. Di tempat lelaki itu berdiri, Mahisa seperti menemukan sisa-sisa cahaya.
Sementara, dari luar tempat itu, sayup-sayup ia mendengar suara berisik dentuman gelas dan botol beradu, diselingi tawa-tawa perempuan yang terdengar genit dan menggoda. Juga suara laki-laki dan perempuan yang sahut-sahutan seperti petir. Suara perempuan menangis. Suara anak kecil merintih. Suara dadu menggelinding. Suara orang berpesta. Gemeletak bola bilyard yang diikuti kata-kata tajam. Semua beradu, bagai menusuk telinganya.
Mahisa bangkit dan menilik keluar tempat itu, dari kejauhan ia melihat orang-orang berlalu-lalang dengan lumpur yang kian menebal di tubuh mereka. Dari kejauhan mereka tampak seperti bongkahan batu berjalan. Batu yang penuh lumpur. Lumpur yang terus meleleh. Seperti es krim cokelat yang mencair. Jalan-jalan, pepohonan, rumah-rumah, semua juga tampak menggumpal oleh lumpur. Lumpur yang tak henti-henti menetes.
Mahisa tertegun. Matanya berhalimun. Bibirnya berbisik runtun. Itu bukan lumpur! Itu dosa!***
Malang,  2010-2011

0 komentar: